KAMMI Perlu Jalan Baru Gerakan

Minggu, 14 November 2010
Gerakan Mahasiswa 2010 seakan terlelap dalam hingar bingar politik Indonesia. Publik sesekali mendengar interupsinya pada beberapa diskursus. Sayangnya, interupsi berupa unjuk rasa itu tidak menampakkan bahwa mereka memahami permasalahan.

Penyikapan pada kasus TDL dan ledakan tabung gas misalnya. Gerakan mahasiswa terkesan abai. Seolah, pemerintah sudah bekerja pada tracknya.

Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Pusat Amin Sudarsono menilai, gerakan mahasiswa saat ini terbuai pada permainan elite. Sebab, tidak mendekat dan membersamai grassroot.

Amin mengaku kecewa, tidak ada kesadaran kolektif bergerak ke grassroot. Malah, lebih tertarik mendekat pada elite. Kalaupun berdialektika, justru berdiskursus pada wacana melangit.

“KAMMI mestinya turun ke grassroot, kembali ke akar, yaitu rakyat, para pekerja, rakyat miskin dan marjinal,” ujar Amin dalam diskusi di Radja Ketjil, Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu malam (21/7).

Menurut dia, rakyat kecil-lah pemegang kedaulatan negeri ini. Meskipun pada praktiknya kartel dinasti elit politik lebih mendominasi arah kebijakan pemerintah.

“Gejala kartel dinasti dalam sistem Indonesia harus disiasati gerakan mahasiswa dengan membentuk kartel rakyat,” ujarnya.

Bukankah itu antitesis Muslim Negarawan yang mengacu pada mobilitas vertikal kader? “Bukan antitesis tapi jalan baru gerakan. Negarawan organik. tidak terkontaminasi unsur-unsur kimia kapitalisme dan sosialisme. Pupuknya rakyat yang natural,” ujar penulis buku Ijtihad Membangun Basis Gerakan itu.

Meski duduk di jajaran pimpinan pusat saat ini, kata Amin, dirinya tidak leluasa mendesakkan ide tersebut menjadi kebijakan. Dia berijtihad: kunci menyukseskan agenda itu melalui even Muktamar Aceh besok.

Ide Amin mendapat apresiasi Peneliti Center on Asia and Globalisation, Starr Levesque. Menurut Starr, komunitas-komunitas disekitar korporasi besar perlu dibersamai. Mereka rawan masalah sosial karena tempat tinggal beralih menjadi industri sementara dirinya tidak terlibat sentral.

Starr mengaku iri pada keterbukaan di Indonesia. Sebab itu, harus dimanfaatkan optimal. “Singapura negara kecil yang makmur tapi otoriter,” ujar mahasiswa Lee Kuan Yew School of Public Policy Singapura itu.

Eksponen aktivis 80-an juga mendukung ide Amin membawa gerakan mahasiswa menjadi gerakan intelektual organik. Pegiat pendamping sosial, Widi Heriyanto, mengatakan basis rakyat di pesantren dan komunitas-komunitas marginal-lah yang menjadi target perubahan riil.

“Kalau bersaing di level elit pasti kalah dengan alumni luar. Sementara KAMMI punya basis yang selama ini diabaikan, basis pesantren, komunitas. Ingat, perubahan riil di mereka,” ujar alumnus Universitas Padjajaran itu.

Dia mencontohkan, ketika UU Keterbukaan Informasi Publik lahir, rakyat kecil tidak langsung tahu. Padahal, saat informasi sangat vital. Kesulitan-kesulitan berhubungan dengan birokrasi seringkali karena ketidaktahuan akan informasi yang benar.

“Bagaimana dari informasi menjadi nasi, kalau tidak didampingi tidak bisa,” ujar murid Frans Magnis Suseno dan Roem Topatimasang itu.

Diskusi hangat itu berakhir hingga larut malam. Diiringi alunan suara keroncong Grace Simon, biduanita 80-an, rombongan beranjak meninggalkan bilangan Tebet.


Oleh:
Suryanta Bakti
Jurnalis dan Mantan Pengurus KAMII Pusat

0 komentar:

Posting Komentar